Sabtu, 14 April 2012

LOKALISASI WTS DAN DAMPAK BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DAERAH TANJUNG PRIOK - JAKARTA UTARA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, juga sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup jika seorang diri, pasti membutuhkan orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Di tengah zaman yang semakin modern dan teknologi yang semakin canggih, makan lapangan pekerjaan juga semakin sempit dan tidak ada gunanya melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, itulah yang mungkin ada di pikiran orang-orang yang mengambil jalan pintas untuk melangsungkan hidupnya walaupun dengan mengorbankan harga dirinya dengan melakukan pekerjaan seks komersial.
Dalam kehidupan sosial di masyarakat kita, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh sebagian orangnya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan penyimpangan norma yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Seperti diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas, interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah negara di mana masyarakat itu bernaung—bisa berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan pelacuran.
Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan, seperti misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, dan penari telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.

1.2. Maksud dan Tujuan
Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya semakin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur.
Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih parahnya lagi dengan mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan lapangan kerja yang kecil sehingga banyak perempuan yang lari ke dunia pelacuran..
Makalah ini difokuskan terhadap pembahasan masalah prostitusi di Indonesia khususnya kota Jakarta, pihak-pihak yang berkaitan, dampak yang ditimbulkannya, dan upaya untuk menanggulanginya. Diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang kehidupan sosial dan praktek prostitusi yang tak bisa dipungkiri masih ada di sekitar kita. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

1.3.    Identifikasi Masalah
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi seks komersial tersebut.
Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas seksual?
Tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.

1.4.    Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah :
a.    Studi Pusaka melalu internet
b.    Observasi (Pengamatan)
c.    Interview (Wawancara).
1.5.   Sistematika Penulisan
Agar data tersusun secara sistematis maka makalah ini disusun dengan susunan sebagai berikut :
BAB I – PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang Masalah
1.2.    Maksud dan Tujuan
1.3.    Identifikasi Masalah
1.4.    Metode Penulisan
1.5.   Sistematika Penulisan
BAB II – PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Prostitusi
2.2. Pandangan Terhadap Prostitusi
2.3. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
2.4. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
2.5. Pelaksanaan Observasi
BAB III – PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Prostitusi
Prostitusi (pelacuran) berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, malakukan persundalan, pergundikan. Sedang prostitue adalah pelacur, dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Tuna susila atau tindak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laik-laki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.
Tuna susila itu juga dapat diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila, atau gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma susila. Menurut Prof. W. A. Bonger dalam tulisannya “Maarschappelijke orzaken der Proostituie” menyatakan: Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Dalam situs Wikipedia, Pelacuran atau Prostitusi adalah peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Dapat diartikan juga adalah suatu bentuk penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Resiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan penyebaran Penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS yang merupakan resiko umum dari seks bebas.

2.2.  Pandangan Terhadap Prostitusi
a.         Pandangan Masyarakat Umum
Di kalangan masyarakat Indonesia, prostitusi atau pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.
Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan yang baik-baik.
Pandangan yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.
b.        Pandangan Menurut Agama
1.        Pandangan Menurut Agama Islam
Pelacuran dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq(benar), Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah uhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.” (lihat Ahkaamul Quran, 3/200). Dan menurut Imam Ahmad, perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.
Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan keji. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama besar Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainnya”. (lihat tafsir Kalaam Al-Mannan: 4/275)
Oleh karena itu, Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah dan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah. Di samping hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau sosial juga diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan (taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini sebenarnya lebih bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi orang lain. Hal ini mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun masyarakat.
2.        Pandangan Menurut Agama Kristen
Agama Yahudi dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi Hosea (1:2-11). Namun demikian ada pula kisah tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam kisah ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan demikian: "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25).
Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus Kristus menganggap negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik biasanya tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus Kristus digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31)

c.         Pandangan Menurut Etika
Melalui kasus Q yang telah kami bahas diatas maka kami memberi tinjauan etis terhadap masalah tersebut dari beberapa cara pandang etika sebagai berikut :
1. Etika Deontologis
Kata Deontologis atau “deontological” memiliki akar kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang harus dilakukan sebagai hasil sebuah paksaan, tugas atau kewajiban. Etika deontologikal ini menekankan bahwa benar atau salah sebuah tindakan ditentukan oleh standar atau norma yang wajib untuk dilakukan. Seseorang dianggap baik secara moral apabila dia tidak melanggar standar atau aturan yang telah ditetapkan dan seorang dianggap buruk secara moral jika tindakannya bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Maka pelacuran dianggap sebagai hal yang salah jika dilihat secara Deontologis, selain pemerintah jelas melarang adanya prostitusi, atau pendekatan hukum yang memandang tindakan ini apapun alasannya sebagai bentuk kejahatan, dari segi kesehatan pelacuran juga dilihat sebagai tindakan yang merugikan kesehatan. Dengan mengganti pasangan tanpa perkenalan yang cukup dan kebiasaan melakukan hubungan seks secara tidak sehat maka para pelaku jelas akan menderita berbagai penyakit penyakit. Selain itu norma dan adat istiadat juga tidak membenarkan hal ini karena merupakan cara hidup yang tidak baik meskipun ada juga yang menyetujui hal ini jika dilihat dari alasan yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi yang dianggap dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Karenanya jika kami kelompok melakukan pendekatan berdasar pada Etika Deontologis, maka menurut kami pelacuran adalah hal yang salah karena melanggar ketetapan pemerintah dan norma adat istiadat serta norma Agama bahwa hubungan yang dilakukan bukan secara sah adalah tindakan perzinahan dan perbuatan tidak terpuji serta bisa menjadi sumber penyakit.
2.   Etika Teleologis 
Menurut cara pandang atau pendekatan Etika Teleologis, sesuai dengan arti kata “teleos” yang berarti tujuan, hal apa yang secara moral baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang ditentukan oleh hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Maka jelas jika perbuatan menghasilkan hal yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan pada apa yang baik dan apa yang tidak baik. Yang lebih penting adalah tujuan atau akibat.
Berdasarkan pada pendekatan ini maka melihat kasus Q (simbol nama seorang pelacur) dapat disimpulkan bahwa tindakan Q adalah tindakan yang baik, tujuannya untuk membantu kehidupan keluarga dan menolong keluarga keluar dari kemiskinan adalah suatu tujuan yag baik. Hal ini juga terlihat pada hasil yang dicapai, ia mendapatkan apa yang ia cari yaitu kelimpahan materi dan ia bisa membantu perekonomian keluarga. Namun melihat akibat jangka panjang, secara Teleologis tindakan Q adalah hal yang tidak tepat. Meski Q menggunakan pekerjaan ini sebagai sumber penghasilan agar keluarganya bisa makan dan bertahan hidup sekalipun jadi aib bagi dia dan tujuannya adalah untuk pemenuhan ekonomi maka selama hasil dari pekerjaan adalah sesuai dengan tujuan maka hal ini bisa dikatakan baik.
Namun mengapa tidak tepat menurut kami, itu karena apa yang Q lakukan telah mengesampingkan kemampuannya mencari uang secara halal dan akibat jangka panjang yang dihasilkan, selain kehidupan keluarga yang tidak utuh dimasa tua, kemiskinan tapi juga rasa malu dan penyesalan yang terus menerus.

3.   Etika Kontekstual 
Dalam pendekatan ini maka yang diperhatikan adalah keadaan yang ada pada saat itu, Mengenai suatu keputusan yang harus diambil. Dari segi situasi dan keadaan yang dialami oleh Q maka hal ini dapat dibenarkan. Q memulai pekerjaan sebagai penyanyi,  Q mempunyai kemampuan menyanyi yang bisa mengahasilkan uang, Lingkungan publik yang membuat dia akhirnya tanpa sadar mulai masuk pada dunia malam sebagai pelacur dengan alasan uang yang lebih mudah didapat atau mungkin lebih cepat dalam mendapatkan uang.
Maka tujuannya mendapatkan uang dan membantu keluarga adalah baik dan keputusan yang Q ambil untuk bekerja sebagai pelacur adalah sebuah keputusan yang secara konteks saat itu untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang mungkin dirasa lebih tepat adalah benar..

4.   Kajian Teologi 
Melihat masalah Q dan mengkaji hal itu secara Teologi maka dapat ditarik beberapa hal sebagai berikut : 
Pertama, Dalam Imamat 19:2 Tuhan berfirman “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus.” Menunjukan bahwa Allah menghendaki umat ciptaan-Nya hidup kudus dalam segala hal dan didalamnya tidak melakukan perbuatan tercelah seperti pelacuran dengan alasan apapun bahkan dalam hukum perkawinan, Allah melarang perzinahan (Keluaran 20:14) dan menghendaki bahwa orang yang melakuakan perzinahan harus dihukum mati (Ulangan 22:22).  
Kedua,  Pelacuran merupakan penolakan terhadap hukum kasih karena dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Paulus pun menyatakan bahwa seorang suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci tubuhnya sendiri, tetapi jusru mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29). Hal ini menegaskan bahwa tubuh kita harus kita jaga bukan untuk dilacurkan demi uang. Orang yang melacurkan dirinya tidak mengasihi tubuhnya sebagai Bait Allah dan ciptaan Allah (I Korintus 3:16-17).  
Ketiga,   Orang yang melacur karena desakan ekonomi atau alasan apapun adalah orang yang tidak percaya akan berkat dan perlindungan Allah. Matius 6: 25-34 menjelaskan dengan panjang lebar bagaimana Allah sesungguhnya mengasihi manusia jauh melebihi ciptaan yang lain. Jika Allah mengasihi burung-burung dilangit dan bunga bakung di lading maka jelas Allah sangat mengasihi manusia melebihi ciptaan-Nya yang lain. Seharusnya manusia sadar bahwa Allah akan memelihara hidupnya dan memberikan apa yang ia perlu.
Keempat, Manusia masing-masing diberi talenta oleh Allah, ada yang satu talenta dan ada yang lebih sesuai kamampuan masing-masing. Maka jika seorang pelacur, jelas ia telah menolak talenta yang diberi Allah dengan tidak memaksimalkan talenta itu dengan baik. Dalam kasus Q jelas bahwa dengan talenta yang ia miliki ia telah mendapat pekerjaan namun karena keinginan untuk mendapat pengahasilan yang lebih ia telah meninggalkan pekerjaan itu. Hal ini jelas bukan suatu hal yag dapat dibenarkan Allah karena Allah mau kita dapat memaksimalkan setiap hal yang telah Ia percayakan dalam hidup kita dengan baik dan berkenan kepada-Nya.

2.3.   Faktor Penyebab Prostitusi
Dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Itulah sebabnya kenapa wanita selalu ada saja yang mengumpulkan dalam suatu tempat dan berusaha “dijual” kepada siapa saja yang membutuhkan “jasa sesaat”nya. Lelaki, meskipun ada yang menjual dirinya, tapi jarang ditemukan dikumpulkan dalam suatu tempat seperti halnya wanita; atau jika ada pun, umumnya para lelaki tersebut berubah wujud menjadi wanita agar diakui keindahannya yang dengannya mudah untuk menentukan tarif yang dikehendakinya.
Prolog di atas adalah hasil analisis peneliti secara umum mengenai fenomena munculnya lokalisasi yang menjajakan jasa wanita sebagai pekerja seks. Namun, mengenai faktor-faktor yang spesifik mengenai sebab para wanita terjun ke dunia seks dan melakukan penyimpangan sosial, hal itu perlu diadakan sebuah penelitian lebih lanjut dengan melibatkan mereka secara langsung.
Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”. Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan tahun 2010 dengan metode wawancara terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut :
-       Faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%,
-       Faktor frustasi karena putus cinta, sebanyak 20%,
-       Faktor lingkungan 15%,
-       Faktor hasrat seks 10%, dan
-       Faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar, sebanyak 10%

2.4.   Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif).
Dampak negatif tersebut antara lain :
a.       Secara sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat,
b.      Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi,
c.       Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita,
d.      Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja,
e.       Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya,
f.       Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan criminal,
g.      Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Sebenarnya pemerintah telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi.
Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah dalam  penanggulangan prostitusi antara lain dengan cara :
1.        Melarang dengan undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan,
2.        Dengan pencatatan dan pengawasan kesehatannya,
3.        Ditampung di tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan perawatan serta diberikan penerangan-penerangan agama atau pendidikan juga diadakan larangan-larangan terhadap anak-anak muda yang mengunjungi tempat tersebut,
4.        Rehabilitasi dalam asrama-asrama dimana para pelacur yang tertangkap diseleksi, yang dianggap masih dapat diperbaiki ditampung dalam asrama, mereka dididik dalam keterampilan, agama dan lain-lain dipersiapkan untuk dapat kembali ke masyarakat sebagai warga yang baik kembali.
Kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.

2.5.    Pelaksanaan Observasi
Untuk mengetahui secara langsung bagaimana kehidupan prostitusi dan kondisi di daerah lingkungan prostitusi, kami melakukan perjalanan ke sebuah lokasi prostitusi di Jakarta.
Penulis telah melakukan pengamatan terhadap prkatek prostitusi dan wawancara langsung dengan narasumber yang merupakan salah seorang pelaku praktek prostitusi. Kami melakukan pengamatan di sebuah lokasi di Jakarta Utara tepatnya daerah Tanjung Priok. Yaitu hari minggu sore, tepatnya tanggal 23 Oktober 2011 kami melakukan perjalanan kesana.Berikut identitas dari narasumber,


Kami telah melakukan perjanjian dengan narasumber untuk bertanya seluk beluk tentang pekerjaan yang dilakukannya. Untuk itu kami merahasiakan identitas asli narasumber demi keamanan dan kenyamanan bersama.
IDENTITAS NARASUMBE 
Nama               :  Santi (nama samaran)
Usia                 :  30 Tahun
Agama             :  Muslim
Daerah Asal    :  Subang - Jawa Barat
Lokasi Bekerja:  Sebuah Lokalikasi di daerah Tj.Priok - Jakarta   Utara

Berikut beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepada narasumber,
PERTANYAAN ?
Q    :  Apa yang melatarbelakangi Anda untuk menjalani pekerjaan tersebut?
A    :  Kehidupan yang serba kekurangan, factor ekonomi dan untuk bertahan
               hidup di Jakarta karena hidup sendiri disini.
Q    :  Apa sajakah suka duka yang Anda dapatkan dari pekerjaan tersebut?
A   :  Sukanya kalau lagi dapat pelanggan yang baik, dukanya kalau mendapat
          pelanggan yang kasar.
Q   :  Dimana saja tempat Anda melakukan pekerjaan tersebut?
A   :  Menerima panggilan, untuk tempat bisa dilakukan di lokasi kadang juga
         di tempat lain tergantung permintaan pelanggan.
Q   :  Berapa penghasilan rata-rata yang Anda dapatkan dari pekerjaan
          tersebut?
A   :  Tidak pasti
Q   :  Apakah Anda mempunya pekerjaan lain di luar pekerjaan tersebut?
A   :  Tidak, dulu pernah bekerja di pabrik dan berjualan.
Q   :  Apakah Anda mempunyai niat untuk berhenti dari pekerjaan tersebut,
         dan mencari pekerjaan      yang lebih baik?
A   :  Ya pasti, kalau ada orang yang baik mau menerima saya apa adanya dan memperistri saya. Saya pasti akan berhenti dari pekerjaan ini, untuk mencari pekerjaan lain.

Berikut informasi tambahan yang kami dapatkan dari narasumber yaitu :
a.         Sudah melakukan pekerjaan ini selama 2 tahun,
b.        Belum pernah kena razia dari Satpol PP,
c.         Mempunyai bos atau mucikari,
d.        Sistem bagi hasil,
e.         Jika melakukan pekerjaan di lokasi, bayar per kamar Rp.15.000,
f.         Dapat 2 sampai 3 pelanggan perhari, terkadang tidak ada sama sekali,
g.        Memulai pekerjaan sekitar jam 8 s/d 12 malam,
h.        Setiap sore minum obat anti-biotik untuk mencegah virus HIV,
i.          Setiap bulan ke klinik untuk kontrol,
j.          Melakukan pekerjaan ini untuk menghidupi orang tuanya di kampung halamannya, tiap bulan mengirim uang ke kampung.
k.        Keluarganya hanya tahu ia bekerja di Jakarta sebagai karyawan di konveksi, tidak tahu tentang pekerjaan yang ia lakukan sebenarnya.

BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Prositusi adalah suatu bentuk penjualan jasa seksual, merupakan prilaku negatif yang dipandang buruk dalam masyarakat. Prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Jika ditinjau lebih dalam, mudharat (keburukan) yang ditimbulkan dari prostitusi tentu sangat besar dibandingkan keuntungannya yang hanya untuk menyeimbangkan kondisi ekonomi pelaku prostitusi dan penyaluran hasrat kaum lelaki hidung belang. Prostitusi jelas sudah melanggar semua norma yang berlaku di masyarakat. Juga sangat hina di hadapan Tuhan dan manusia pada umumnya. Selain itu juga penyakit-penyakit berbahaya dan tindak kriminal lainnya yang akan timbul akibat prostitusi ini.
Sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah prostitusi dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan razia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu belum efektif menekan perkembangan prostitusi di Indonesia.

3.2.    Saran
Apapun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Pendekatan melalui sosial dan agama bisa dilakukan untuk memperkecil tingkat prostitusi di Indonesia khususnya Jakarta.
Wanita pelacur adalah sesama kita yang berhak mendapatkan perlakuan manusiawi karena mereka juga adalah makhluk ciptaan yang mungkin saja khilaf dalam bertindak. Keberpihakan itu tidak berarti kita harus menghalalkan pelacuran, tetapi saran kami kelompok adalah kita mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan berusaha menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi.
Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional dan bertindak melebihi hakim tetapi sebagai manusia yang hidup dengan berbagai kebutuhan, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan termasuk dalam memenuhi kebutuhan itu. Kita harus secara serius membicarakan masalah lain yang juga menentukan kasus pelacuran, misalnya dalam hal kemiskinan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Pelacuran adalah sebuah tanda ketidakmampuan untuk mengahadapi kerasnya hidup walau ada yang memang telah menjadikan dunia ini sebagai tempat mencari uang atau ladang usaha. Kami kelompok menyadari bahwa terkadang manusia cenderung berpikir secara cepat dalam mengahadapi tekanan hidup tetapi adalah sangat tepat jika kita sebagai warga gereja juga melihat dalam kacamata iman pada pengaharapan akan Allah yang memelihara kita umat ciptaan-Nya dan memaksimalkan setiap potensi dan kemampuan secara aktif dalam hidup. Sebuah perkataan ora et labora jelas meganjurkan hidup bergantung pada Allah tapi juga mau bekerja sesuai kemampuan dan jelas harus halal.
Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor  yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.
Masyarakat bila digerakkan dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan atau minimal meminimalisir prilaku prostitusi di lingkungannya. Misalnya dilakukan dengan cara pendekatan-pendekatan kemanusiaan, sosial dan agama.


DAFTAR PUSTAKA

Studi Pustaka melalui Internet
1.      Google Search Engine, keyword : prostitusi, makalah prostitusi, data prostitusi
2.      Wikipedia
3.      Artikel dan Blog tentang Prostitusi

Observasi dan Wawancara
Observasi ke lokalisasi daerah Tanjung.Priok - Jakarta Utara.
Wawancara dengan Sdri. Santi  (30 tahun), pelaku tindak prostitusi, tanggal 23 Oktober 2011.
http://johnnduka.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Sumba Island