BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, juga sebagai makhluk sosial tidak akan bisa
hidup jika seorang diri, pasti membutuhkan orang lain untuk kelangsungan
hidupnya. Di tengah zaman yang semakin modern dan teknologi yang semakin
canggih, makan lapangan pekerjaan juga semakin sempit dan tidak ada gunanya
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, itulah yang mungkin ada
di pikiran orang-orang yang mengambil jalan pintas untuk melangsungkan hidupnya
walaupun dengan mengorbankan harga dirinya dengan melakukan pekerjaan seks komersial.
Dalam
kehidupan sosial di masyarakat kita, di manapun berada, selalu terdapat
penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh sebagian orangnya, baik
yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat
dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara
anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang
menimbulkan penyimpangan norma yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Seperti
diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan
sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas,
interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan
berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah
negara di mana masyarakat itu bernaung—bisa berbentuk kondisi perekonomian,
kondisi keamanan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Pelacuran
merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap
putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai
dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa
mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya
menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga
pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil
keutungan dari keberadaan pelacuran.
Industri
bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan, seperti misalnya prostitusi,
pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, dan penari telanjang.
Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau
tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja
seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya,
bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang
membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.
1.2. Maksud dan Tujuan
Pelacuran
tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak
perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa
kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan
protokol ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial, tetapi hal ini tidak
membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya semakin
bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena
keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada
pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan
anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur.
Walaupun
pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini
anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai
pemuas atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih parahnya lagi dengan mitos
keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka
yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan lapangan kerja yang kecil sehingga banyak perempuan yang lari ke dunia
pelacuran..
Makalah
ini difokuskan terhadap pembahasan masalah prostitusi di Indonesia khususnya
kota Jakarta, pihak-pihak yang berkaitan, dampak yang ditimbulkannya, dan upaya
untuk menanggulanginya. Diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang
kehidupan sosial dan praktek prostitusi yang tak bisa dipungkiri masih ada di
sekitar kita. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
1.3. Identifikasi Masalah
Tumbuh
suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti
bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh
masyarakat. Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan
pemerintah adalah liberalisasi seks komersial tersebut.
Kedua
langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi
pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru
untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi
dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Persoalannya adalah
apakah gagasan perubahan paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu
dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas seksual?
Tampaknya
tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual ini
dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia
tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah
besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi
diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun
dan di mana pun.
1.4. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penyusunan makalah
ini adalah :
a. Studi
Pusaka melalu internet
b. Observasi
(Pengamatan)
c. Interview
(Wawancara).
1.5. Sistematika Penulisan
Agar
data tersusun secara sistematis maka makalah ini disusun dengan susunan sebagai
berikut :
BAB I – PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Identifikasi Masalah
1.4. Metode Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan
BAB
II – PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Prostitusi
2.2. Pandangan
Terhadap Prostitusi
2.3.
Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
2.4. Dampak
Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
2.5. Pelaksanaan
Observasi
BAB
III – PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Prostitusi
Prostitusi
(pelacuran) berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree, yang
berarti membiarkan diri berbuat zinah, malakukan persundalan, pergundikan.
Sedang prostitue adalah pelacur, dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita
Tuna Susila. Tuna susila atau tindak susila itu diartikan sebagai kurang
beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada
banyak laik-laki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang
bagi pelayanannya.
Tuna
susila itu juga dapat diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila, atau gagal
menyesuaikan diri dengan norma-norma susila. Menurut Prof. W. A. Bonger dalam
tulisannya “Maarschappelijke orzaken der Proostituie” menyatakan: Prostitusi
ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan
perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Dalam
situs Wikipedia, Pelacuran atau Prostitusi adalah peristiwa penjualan diri
dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak
orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Dapat
diartikan juga adalah suatu bentuk penjualan jasa seksual, seperti seks oral
atau hubungan seks untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut
pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dalam
pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang
dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang
musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil.
Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal
atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu
buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap
aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan
kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.
Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti
dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Resiko yang
dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan penyebaran
Penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS yang merupakan resiko umum dari seks
bebas.
2.2. Pandangan Terhadap Prostitusi
a.
Pandangan Masyarakat
Umum
Di
kalangan masyarakat Indonesia, prostitusi atau pelacuran dipandang negatif, dan
mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah
masyarakat.
Ada
pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat,
namun dibutuhkan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran
pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya
kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru
akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan yang baik-baik.
Pandangan
yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena
umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.
b.
Pandangan
Menurut Agama
1.
Pandangan Menurut Agama Islam
Pelacuran
dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk perbuatan dosa besar.
Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan
membunuh tanpa alasan yang haq(benar), Allah berfirman: “Dan orang-orang yang
tidak menyembah uhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS.
Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa
tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang
dibenarkan dan zina.” (lihat Ahkaamul Quran, 3/200). Dan menurut Imam Ahmad,
perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.
Islam
melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan
keji. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina.
Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
(QS. Al-Isra’: 32). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama besar
Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan
keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah
karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya
atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan
melanggar tatanan lainnya”. (lihat tafsir Kalaam Al-Mannan: 4/275)
Oleh
karena itu, Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan
hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah dan hukuman rajam sampai mati
bagi orang yang menikah. Di samping hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau
sosial juga diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan
(taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini
sebenarnya lebih bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi
orang lain. Hal ini mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia, baik dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun
masyarakat.
2.
Pandangan Menurut Agama Kristen
Agama Yahudi
dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain selain kepada Allah
sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel
ps. 23 dan kitab Nabi Hosea (1:2-11). Namun demikian ada pula kisah tentang
Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata
yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam kisah
ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara
seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin
oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan demikian: "Demikianlah Rahab,
perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan
dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah
orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang
disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25).
Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus Kristus menganggap negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik
biasanya tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari
orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus Kristus
digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti
para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata
Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut
cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan
Allah'." (Matius 21:31)
c.
Pandangan
Menurut Etika
Melalui kasus Q yang telah
kami bahas diatas maka kami memberi tinjauan etis terhadap masalah tersebut
dari beberapa cara pandang etika sebagai berikut :
1. Etika Deontologis
Kata Deontologis atau “deontological” memiliki akar
kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang harus dilakukan sebagai hasil sebuah
paksaan, tugas atau kewajiban. Etika deontologikal ini menekankan bahwa benar
atau salah sebuah tindakan ditentukan oleh standar atau norma yang wajib untuk
dilakukan. Seseorang dianggap baik secara moral apabila dia tidak melanggar
standar atau aturan yang telah ditetapkan dan seorang dianggap buruk secara
moral jika tindakannya bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Maka pelacuran dianggap sebagai hal yang salah jika
dilihat secara Deontologis, selain pemerintah jelas melarang adanya prostitusi,
atau pendekatan hukum yang memandang tindakan ini apapun alasannya sebagai
bentuk kejahatan, dari segi kesehatan pelacuran juga dilihat sebagai tindakan
yang merugikan kesehatan. Dengan mengganti pasangan tanpa perkenalan yang cukup
dan kebiasaan melakukan hubungan seks secara tidak sehat maka para pelaku jelas
akan menderita berbagai penyakit penyakit. Selain itu norma dan adat istiadat
juga tidak membenarkan hal ini karena merupakan cara hidup yang tidak baik
meskipun ada juga yang menyetujui hal ini jika dilihat dari alasan yaitu dapat
terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang
menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi yang dianggap dilatar belakangi
oleh faktor kemiskinan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Karenanya jika kami kelompok melakukan pendekatan
berdasar pada Etika Deontologis, maka menurut kami pelacuran adalah hal yang
salah karena melanggar ketetapan pemerintah dan norma adat istiadat serta norma
Agama bahwa hubungan yang dilakukan bukan secara sah adalah tindakan perzinahan
dan perbuatan tidak terpuji serta bisa menjadi sumber penyakit.
2. Etika
Teleologis
Menurut cara pandang atau pendekatan Etika Teleologis,
sesuai dengan arti kata “teleos” yang berarti tujuan, hal apa yang secara moral
baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang ditentukan oleh hasil
dari tindakan yang dilaksanakan. Maka jelas jika perbuatan menghasilkan hal
yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan secara moral.
Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan pada apa yang baik dan apa yang tidak
baik. Yang lebih penting adalah tujuan atau akibat.
Berdasarkan pada
pendekatan ini maka melihat kasus Q (simbol nama seorang pelacur) dapat
disimpulkan bahwa tindakan Q adalah
tindakan yang baik, tujuannya untuk membantu kehidupan keluarga dan menolong
keluarga keluar dari kemiskinan adalah suatu tujuan yag baik. Hal ini juga
terlihat pada hasil yang dicapai, ia mendapatkan apa yang ia cari yaitu
kelimpahan materi dan ia bisa membantu perekonomian keluarga. Namun melihat
akibat jangka panjang, secara Teleologis tindakan Q adalah hal yang tidak tepat. Meski Q menggunakan pekerjaan ini sebagai sumber penghasilan
agar keluarganya bisa makan dan bertahan hidup sekalipun jadi aib bagi dia dan
tujuannya adalah untuk pemenuhan ekonomi maka selama hasil dari pekerjaan
adalah sesuai dengan tujuan maka hal ini bisa dikatakan baik.
Namun mengapa tidak tepat menurut kami, itu karena apa
yang Q lakukan telah mengesampingkan kemampuannya mencari
uang secara halal dan akibat jangka panjang yang dihasilkan, selain kehidupan
keluarga yang tidak utuh dimasa tua, kemiskinan tapi juga rasa malu dan
penyesalan yang terus menerus.
3. Etika
Kontekstual
Dalam pendekatan ini maka yang diperhatikan adalah
keadaan yang ada pada saat itu, Mengenai suatu keputusan yang harus diambil.
Dari segi situasi dan keadaan yang dialami oleh Q maka hal
ini dapat dibenarkan. Q memulai
pekerjaan sebagai penyanyi, Q mempunyai
kemampuan menyanyi yang bisa mengahasilkan uang, Lingkungan publik yang
membuat dia akhirnya tanpa sadar mulai masuk pada dunia malam sebagai pelacur
dengan alasan uang yang lebih mudah didapat atau mungkin lebih cepat dalam
mendapatkan uang.
Maka tujuannya mendapatkan uang dan membantu keluarga
adalah baik dan keputusan yang Q ambil untuk
bekerja sebagai pelacur adalah sebuah keputusan yang secara konteks saat itu untuk
memenuhi kebutuhan mendesak yang mungkin
dirasa lebih tepat adalah benar..
4. Kajian Teologi
Melihat masalah Q dan
mengkaji hal itu secara Teologi maka dapat ditarik beberapa hal sebagai berikut
:
Pertama, Dalam Imamat 19:2 Tuhan berfirman “Kuduslah kamu,
sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus.” Menunjukan bahwa Allah menghendaki umat
ciptaan-Nya hidup kudus dalam segala hal dan didalamnya tidak melakukan
perbuatan tercelah seperti pelacuran dengan alasan apapun bahkan dalam hukum
perkawinan, Allah melarang perzinahan (Keluaran 20:14) dan menghendaki bahwa
orang yang melakuakan perzinahan harus dihukum mati (Ulangan 22:22).
Kedua, Pelacuran
merupakan penolakan terhadap hukum kasih karena dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus
berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Paulus pun
menyatakan bahwa seorang suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya
sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci tubuhnya sendiri, tetapi jusru
mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29). Hal ini menegaskan bahwa tubuh kita
harus kita jaga bukan untuk dilacurkan demi uang. Orang yang melacurkan dirinya
tidak mengasihi tubuhnya sebagai Bait Allah dan ciptaan Allah (I Korintus
3:16-17).
Ketiga, Orang yang
melacur karena desakan ekonomi atau alasan apapun adalah orang yang tidak
percaya akan berkat dan perlindungan Allah. Matius 6: 25-34 menjelaskan dengan
panjang lebar bagaimana Allah sesungguhnya mengasihi manusia jauh melebihi
ciptaan yang lain. Jika Allah mengasihi burung-burung dilangit dan bunga bakung
di lading maka jelas Allah sangat mengasihi manusia melebihi ciptaan-Nya yang
lain. Seharusnya manusia sadar bahwa Allah akan memelihara hidupnya dan
memberikan apa yang ia perlu.
Keempat, Manusia
masing-masing diberi talenta oleh Allah, ada yang satu talenta dan ada yang lebih sesuai kamampuan masing-masing.
Maka jika seorang pelacur,
jelas ia telah menolak talenta yang diberi Allah dengan tidak memaksimalkan
talenta itu dengan baik. Dalam kasus Q jelas bahwa
dengan talenta yang ia miliki ia telah mendapat pekerjaan namun karena
keinginan untuk mendapat pengahasilan yang lebih ia telah meninggalkan
pekerjaan itu. Hal ini jelas bukan suatu hal yag dapat dibenarkan Allah karena
Allah mau kita dapat memaksimalkan setiap hal yang telah Ia percayakan dalam
hidup kita dengan baik dan berkenan kepada-Nya.
2.3. Faktor Penyebab
Prostitusi
Dikarenakan
wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target
pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Itulah
sebabnya kenapa wanita selalu ada saja yang mengumpulkan dalam suatu tempat dan
berusaha “dijual” kepada siapa saja yang membutuhkan “jasa sesaat”nya. Lelaki,
meskipun ada yang menjual dirinya, tapi jarang ditemukan dikumpulkan dalam
suatu tempat seperti halnya wanita; atau jika ada pun, umumnya para lelaki
tersebut berubah wujud menjadi wanita agar diakui keindahannya yang dengannya
mudah untuk menentukan tarif yang dikehendakinya.
Prolog
di atas adalah hasil analisis peneliti secara umum mengenai fenomena munculnya
lokalisasi yang menjajakan jasa wanita sebagai pekerja seks. Namun, mengenai faktor-faktor
yang spesifik mengenai sebab para wanita terjun ke dunia seks dan melakukan
penyimpangan sosial, hal itu perlu diadakan sebuah penelitian lebih lanjut
dengan melibatkan mereka secara langsung.
Lebih
jauh, dapat dikatakan bahwa kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi),
bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan “faktor
eksternal”. Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu
sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri,
dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan
secara langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor
luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal
ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan
kehidupan keluarga, dan sebagainya.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Setiawan tahun 2010 dengan metode wawancara
terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor
penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut :
-
Faktor ekonomi, yaitu
sebanyak 45%,
-
Faktor frustasi karena
putus cinta, sebanyak 20%,
-
Faktor lingkungan 15%,
-
Faktor hasrat seks 10%,
dan
-
Faktor tipuan mucikari
yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar, sebanyak
10%
2.4. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Prostitusi
ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik
(negatif).
Dampak
negatif tersebut antara lain :
a. Secara sosiologis, prostitusi merupakan
perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam
masyarakat,
b. Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan
kegiatan yang demoralisasi,
c. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan
kegiatan merendahkan martabat wanita,
d. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya
sering terjadi pemerasan tenaga kerja,
e. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi
merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan
kandungan yang sangat berbahaya,
f. Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat
menimbulkan kegiatan-kegiatan criminal,
g. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat
menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Sebenarnya
pemerintah telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan
akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh
trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur
jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi.
Upaya-upaya
yang dilakukan Pemerintah dalam
penanggulangan prostitusi antara lain dengan cara :
1.
Melarang dengan
undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan,
2.
Dengan pencatatan dan
pengawasan kesehatannya,
3.
Ditampung di
tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan perawatan serta diberikan
penerangan-penerangan agama atau pendidikan juga diadakan larangan-larangan
terhadap anak-anak muda yang mengunjungi tempat tersebut,
4.
Rehabilitasi dalam
asrama-asrama dimana para pelacur yang tertangkap diseleksi, yang dianggap
masih dapat diperbaiki ditampung dalam asrama, mereka dididik dalam
keterampilan, agama dan lain-lain dipersiapkan untuk dapat kembali ke
masyarakat sebagai warga yang baik kembali.
Kurangnya
sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para
pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera.
Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka
upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah
balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak,
akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti
apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi
dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.
2.5. Pelaksanaan Observasi
Untuk
mengetahui secara langsung bagaimana kehidupan prostitusi dan kondisi di daerah
lingkungan prostitusi, kami melakukan perjalanan ke sebuah lokasi prostitusi di
Jakarta.
Penulis
telah melakukan pengamatan terhadap prkatek prostitusi dan wawancara langsung
dengan narasumber yang merupakan salah seorang pelaku praktek prostitusi. Kami
melakukan pengamatan di sebuah lokasi di Jakarta Utara tepatnya daerah Tanjung
Priok. Yaitu hari minggu sore, tepatnya tanggal 23 Oktober 2011 kami melakukan
perjalanan kesana.Berikut
identitas dari narasumber,
Kami telah melakukan perjanjian dengan narasumber untuk bertanya seluk beluk tentang pekerjaan yang dilakukannya. Untuk itu kami merahasiakan identitas asli narasumber demi keamanan dan kenyamanan bersama. |
IDENTITAS NARASUMBE
Nama : Santi
(nama samaran)
Usia : 30 Tahun
Agama : Muslim
Daerah Asal : Subang - Jawa Barat
Lokasi Bekerja: Sebuah Lokalikasi di daerah
Tj.Priok - Jakarta Utara
Berikut
beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepada narasumber,
PERTANYAAN ?
Q : Apa
yang melatarbelakangi Anda untuk menjalani pekerjaan tersebut?
A :
Kehidupan yang serba kekurangan, factor ekonomi dan untuk bertahan
hidup
di Jakarta karena hidup sendiri disini.
Q : Apa
sajakah suka duka yang Anda dapatkan dari pekerjaan tersebut?
A :
Sukanya kalau lagi dapat pelanggan yang baik, dukanya kalau mendapat
pelanggan
yang kasar.
Q :
Dimana saja tempat Anda melakukan pekerjaan tersebut?
A :
Menerima panggilan, untuk tempat bisa dilakukan di lokasi kadang juga
di
tempat lain tergantung permintaan pelanggan.
Q :
Berapa penghasilan rata-rata yang Anda dapatkan dari pekerjaan
tersebut?
A :
Tidak pasti
Q :
Apakah Anda mempunya pekerjaan lain di luar pekerjaan tersebut?
A :
Tidak, dulu pernah bekerja di pabrik dan berjualan.
Q :
Apakah Anda mempunyai niat untuk berhenti dari pekerjaan tersebut,
dan
mencari pekerjaan yang lebih baik?
A : Ya
pasti, kalau ada orang yang baik mau menerima saya apa adanya dan memperistri
saya. Saya pasti akan berhenti dari pekerjaan ini, untuk mencari pekerjaan
lain.
Berikut informasi tambahan yang kami
dapatkan dari narasumber yaitu :
a.
Sudah melakukan
pekerjaan ini selama 2 tahun,
b.
Belum pernah kena razia
dari Satpol PP,
c.
Mempunyai bos atau
mucikari,
d.
Sistem bagi hasil,
e.
Jika melakukan
pekerjaan di lokasi, bayar per kamar Rp.15.000,
f.
Dapat 2 sampai 3
pelanggan perhari, terkadang tidak ada sama sekali,
g.
Memulai pekerjaan
sekitar jam 8 s/d 12 malam,
h.
Setiap sore minum obat
anti-biotik untuk mencegah virus HIV,
i.
Setiap bulan ke klinik
untuk kontrol,
j.
Melakukan pekerjaan ini
untuk menghidupi orang tuanya di kampung halamannya, tiap bulan mengirim uang ke kampung.
k.
Keluarganya hanya tahu
ia bekerja di Jakarta sebagai karyawan di konveksi, tidak tahu tentang
pekerjaan yang ia lakukan sebenarnya.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Prositusi
adalah suatu bentuk penjualan jasa seksual, merupakan prilaku negatif yang
dipandang buruk dalam masyarakat. Prostitusi dilatar belakangi oleh faktor
kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan
dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Jika
ditinjau lebih dalam, mudharat (keburukan) yang ditimbulkan dari prostitusi
tentu sangat besar dibandingkan keuntungannya yang hanya untuk menyeimbangkan
kondisi ekonomi pelaku prostitusi dan penyaluran hasrat kaum lelaki hidung
belang. Prostitusi jelas sudah melanggar semua norma yang berlaku di
masyarakat. Juga sangat hina di hadapan Tuhan dan manusia pada umumnya. Selain
itu juga penyakit-penyakit berbahaya dan tindak kriminal lainnya yang akan
timbul akibat prostitusi ini.
Sudah
banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah prostitusi dan
akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan razia oleh
trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur
jalanan, namun cara itu belum efektif menekan perkembangan prostitusi di
Indonesia.
3.2. Saran
Apapun
bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang
berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan
itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa
pendekatan yang berperikemanusiaan. Pendekatan melalui sosial dan agama bisa
dilakukan untuk memperkecil tingkat prostitusi di Indonesia khususnya Jakarta.
Wanita
pelacur adalah sesama kita yang berhak mendapatkan perlakuan manusiawi karena
mereka juga adalah makhluk ciptaan yang mungkin saja khilaf dalam bertindak.
Keberpihakan itu tidak berarti kita harus menghalalkan pelacuran, tetapi saran
kami kelompok adalah kita mencoba memberi nuansa pendekatan yang
berperikemanusiaan. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat,
peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan berusaha
menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi.
Kita tidak
perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional dan bertindak
melebihi hakim tetapi sebagai manusia yang hidup dengan berbagai kebutuhan,
kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan termasuk dalam memenuhi kebutuhan
itu. Kita harus secara serius membicarakan masalah lain yang juga menentukan kasus
pelacuran, misalnya dalam hal kemiskinan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Pelacuran adalah sebuah tanda ketidakmampuan untuk mengahadapi kerasnya hidup
walau ada yang memang telah menjadikan dunia ini sebagai tempat mencari uang
atau ladang usaha. Kami kelompok menyadari bahwa terkadang manusia cenderung
berpikir secara cepat dalam mengahadapi tekanan hidup tetapi adalah sangat
tepat jika kita sebagai warga gereja juga melihat dalam kacamata iman pada
pengaharapan akan Allah yang memelihara kita umat ciptaan-Nya dan memaksimalkan
setiap potensi dan kemampuan secara aktif dalam hidup. Sebuah perkataan “ora et labora” jelas meganjurkan hidup bergantung pada Allah tapi
juga mau bekerja sesuai kemampuan dan jelas harus halal.
Janganlah
kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang
dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan
manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan
yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para
koruptor yang diam-diam memakan uang
rakyat banyak.
Masyarakat
bila digerakkan dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu
melakukan tindak pencegahan atau minimal meminimalisir prilaku prostitusi di
lingkungannya. Misalnya dilakukan dengan cara pendekatan-pendekatan
kemanusiaan, sosial dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Studi Pustaka melalui
Internet
1.
Google Search Engine, keyword :
prostitusi, makalah prostitusi, data prostitusi
2.
Wikipedia
3.
Artikel dan Blog tentang
Prostitusi
Observasi
dan Wawancara
Observasi
ke lokalisasi daerah Tanjung.Priok - Jakarta Utara.
Wawancara
dengan Sdri. Santi (30 tahun), pelaku
tindak prostitusi, tanggal 23 Oktober 2011.
http://johnnduka.blogspot.com/
http://johnnduka.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Sumba Island